Linggarjati, Wisata Sejarah Yang Terlupakan

Belanda mengakui kekuasaan de-facto pemerintah Indonesia meliputi Jawa, Madura dan Sumatra. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949. Belanda dan Indonesia membentuk Negara serikat. Indonesia dan Belanda membentuk Uni-Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Namun akhirnya perundingan ini banyak ditentang karena wilayah Sulawesi, Kalimantan hingga Papua tidak termasuk ke dalam kedaulatan Indonesia. Belanda yang mempunyai strategi merebut Indonesia kembali terus melakukan persiapan untuk mengempur wilayah Indonesia, Juli 1947, Sutan Sjahrir, selaku Perdana Menteri dan perwakilan Indonesia dalam perundingan ini, akhirnya mengundurkan diri, putus asa karena Belanda mengkhianati Perjanjian Linggajati.

Belanda yang merasa di atas angin terus melakukan agresinya, hingga meletuskan perang kemerdekaan tahun 1947-1949. Perundingan berikutnya yakni Perjanjian di atas kapal perang Amerika Serikat bernama Renville, tangal 17-19 Januari 1948. Setelah agresi militer Belanda II, diadakan Konfrensi Meja Bundar di Den Haag 23 Agustus hingga 2 November 1949 yang memaksa belanda mengaku kedaulatan Republik Indonesia.

Nah, satu-satunya tempat perundingan antara Indonesia dengan Belanda dan masih ada yakni Gedung Perundingan Linggajati, terletak sekitar 15 kilometer dari Kota Kuningan dan 20 kilometer dari Kota Cirebon. Letaknya berada di bawah kaki Gunung Ceremai, di ketinggian 400 mdpl. Termasuk Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan.

Saat ini gedung yang dibangun permanen tahun 1930 semula merupakan tempat tinggal Van Ost Dome. Tahun 1935 dikontrak oleh Heiker (Belanda) dijadikan hotel Rustoord. 1942 ketika Jepang menjajah Indonesia diganti namanya menjadi Hotel Hokay Ryokan. Tahun 1945 hotel ini diberi nama Hotel Merdeka. Tahun 1946 menjadi tempat Perundingan LInggarjati.

Gedung ini memiliki 11 kamar, salah satunya kamar Lord Killearn, dari Inggris yang menjadi penengah perundingan ini. Ruang perundingan berada ditengah, terdiri dari 3 meja dan 9 kursi, di pojok ruang perundingan ada kursi dan meja notulen. Semua kursi tertulis nama mereka yang duduk sat perundingan berlangsung. Semua meja dan kursi masih asli. Lokasi gedung berada di ketinggian 12 meter dari tempat parkir. Di sekitar gedung ini ditumbuhin berbagai pepohonan rindang, sehingga kesejukan lebih terasa. Dibagian depan terdapat monumen Perundingan LInggajati degnan relief Sutan Sjahrir (kanan) Lord Killearn di tengah, dan Van Mook (kiri).

Di dalam gedung, pengunjung dibawa ke suasana tahun 1946, karena semua kasur, kursi kamar dan meja terbuat dari kayu jati dan rasamala di semua ruangan masih utuh. Di dinding gedung terpasang sejumlah foto saat perundingan, diantaranya 2 foto sejumlah wartawan asing yang meliput perundingan ini. Di teras gedung, lantainya masih asli juga tembok pembatas teras. Layaknya sebuah museum di ruang utama perundingan ada diorama saat perundingan berlangsung.

Bagi pengunjung wisata sejarah disediakan buku Perundingan Linggajati harga hanya Rp. 3.000. Pengunjung yang membawa kendaraan sendiri bisa masuk melalui jalan utama obyek wisata alam Linggarjati, atau daerah Pertigaan Caracas. Bagi yang naik angkutan umum, turun di pertigaan Linggarjati, naik angkot Cilimus-Linggarjati.

Meskipun termasuk bangunan tua, namun gedung ini menarik para wisatawan yang datang, baik anak sekolah, mahasiswa dan wisatawan dalam dan luar negeri. Luas gedung 500 meter persegi, halamanya seluas 2,5 hektar, seluruh halaman gedung dikelilingi pagar, sedangkan tangga menuju bangunan utama terbuat dari batu lempengan hitam. Selain kesejukan yang ditawarkan, sejarah di gedung ini harus diketahui generasi mendatang, karena gedung ini menjadi satu-satunya, gedung perundingan Indonesia-Belanda yang masih tegak bediri.

via tempo.co

Sang Admin

Fb : facebook.com/visitkuningan Instagram : @visitkuningan

Tinggalkan Komentar